Stigma
dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya
informasi dan klarifikasi. Stereotipe yang bertahan sedemikian lama pada satu
sisi menunjukkan bahwa suasana komunikasi sosial yang ada cukup tidak sehat.
Dengan kata lain, iklim komunikasinya keruh, tidak jernih. Bila yang terjadi
demikian, dan itu menyangkut sekelompok masyarakat (baik etnis, golongan, atau
mungkin agama), maka pergaulan sosial akan gampang memunculkan prasangka yang
pada satu saat dapat mudah memicu konflik, dari skala paling kecil hingga yang
lebih masif.
Dalam
sebuah penelitian tentang stereotipe etnis di Indonesia, Profesor Suwarsih
Warnaen (2002: 121) mendefinisikan stereotipe etnis sebagai kepercayaan yang
dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat
khas berbagai kelompok etnis lain, termasuk etnis mereka sendiri. Dalam
kehidupan sosial, stereotipe etnis muncul dari proses sosial yang panjang dan
kompleks. Menurut Suwarsih, cara terbaik untuk menjernihkan cara pandang
masyarakat terhadap stereotipe etnis suatu kelompok adalah dengan menghimpun
informasi yang bersifat objektif sebanyak mungkin, untuk kemudian disebarkan.
Profesor
Mien Ahmad Rifai, penulis buku ini, sangat sadar akan perlunya klarifikasi dan
informasi yang jernih tentang manusia Madura, sehingga kemudian lahirlah buku
yang cukup tebal dan kaya referensi ini. Dalam kata pengantarnya, Profesor Mien
menjelaskan maksud penulisan buku ini, yakni untuk mengisi kekosongan referensi
yang memadai yang menjelaskan sosok manusia Madura. Menurut Mien, pemahaman
yang lebih baik terhadap manusia Madura akan membantu terbentuknya keharmonisan
sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki masyarakat majemuk
ini.
Pembahasan
tentang manusia Madura dalam buku ini sangat luas dan mendalam. Hal itu sudah
cukup tergambar dari subjudul buku ini, yang menunjukkan bahwa pembahasan
tentang manusia Madura mencakup aspek pembawaan, perilaku, etos kerja,
penampilan, dan pandangan hidupnya. Aspek-aspek yang disebutkan ini meliputi
semua unsur kebudayaan manusia Madura, mulai dari kebudayaan fisik, hingga yang
berhubungan dengan aspek nilai dan pandangan hidup.
Ada
lima pokok bahasan atau sudut pandang yang digunakan untuk membahas manusia
Madura. Yang pertama, sudut pandang sejarah, di bab kedua. Dalam bagian ini,
Mien menguraikan sejarah sosial Madura sebagai sebuah unit kebudayaan. Pokok
bahasan yang kedua adalah tentang pandangan (stereotipe) orang luar terhadap
orang Madura. Dalam bab ketiga ini, dijelaskan berbagai stereotipe tentang
manusia Madura, yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda.
Di
antara stereotipe itu adalah bahwa manusia Madura cepat tersinggung, pemarah,
suka berkelahi, dan beringas. Dalam menyusun stereotipe itu, kadang ada upaya
perbandingan dengan manusia Jawa. Digambarkan, misalnya, bahwa baik bangsawan
Madura maupun rakyat jelatanya memiliki tubuh yang tidak seanggun orang Jawa.
Tentang perempuan, digambarkan bahwa kecantikan wanita Madura itu jauh di bawah
wanita Jawa Tengah dan Jawa Barat. Wanita Madura dipandang tidak anggun dan
cepat tua. Dalam hampir segala hal, orang Madura dianggap lebih rendah
dibandingkan dengan orang Jawa. Kalaupun orang Madura memiliki sifat-sifat
positif, seperti bahwa manusia Madura memiliki tali kekeluargaan yang erat dan
moral yang tinggi, itu kemudian dipandang sebagai konsekuensi sifat-sifat yang
negatif tersebut.
Ironisnya,
ketika Indonesia merdeka dan pengetahuan tentang masyarakat Madura meningkat,
stereotipe semacam ini masih tetap bertahan. Mien menggarisbawahi, bahwa citra
negatif orang Madura ini malah sering diperburuk sendiri oleh sejumlah orang
Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih menonjolkan kenegatifannya
secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak
terpuji.
STEREOTIPE ZAMAN
KOLONIAL BELANDA TERHADAP ORANG MADURA
Tema
yang selalu muncul dalam stereotype tentang kelompok orang umumnya mengacu pada
penampilan luar. Di masa penjajahan belanda, penjabaran cirri-ciri fisik orang
Madura hanya dilihat dari fisiknya saja, orang Madura selalu dijabarkan sebagai
orang yang lebih kasar, tidak halus, lebih bersegi-segi, lebih kekar, lebih
berani, dan memiliki tubuh yang lebih kuat. Tingginya berkisar antara160-170
cm, lebih kecil atau maksimum sama, tetapi tidak pernah lebih besar
dibandingkan dengan penduduk tetangganya (surink 1933.195).
Dalam
tulisan-tulisan yang ada, orang Madura selalu dikatakan terbelakang, kaku gemuk
dan jelek. Pendeta katolik van der linden (1931-1932:237) menganggap kecantikan
wanita Madura berada jauh dibawah wanita jawa tengah dan jawa barat.
“Kelembutan muka pucat halus yang menyebabkan wanita jawa memikat, jarang
sekali dijumpai pada wanita Madura” Lindoeng (1898:262). Suring (1933:10)
menduga bahwa wanita Madura “cepat menjadi tua, dan pada umur yang agak dini
sudah memerlihatkan kesan kelelaki-lelakian dengan wajah berkeriput’.
Satu-satunya
kepositifan sifat yang sering dilaporkan orang tentang wanita Madura hanyalah
bahwa mereka memiliki buah dada yang montok dan tumbuh dengan baik. Payudara
yang dibentuk indah ini diduga terjadi karena mereka tidak memakai penjhung atau kemben, selembar kain yang biasanya dikenakan wanita jawa untuk
meratakan buah dadanya. Ada juga penulis yang menduga keindahan itu disebabkan
oleh kebiasaan aneh wanita Madura yang membawa segala sesuatu (botol, cangkir
teh, keranjang makanan, atau barang dagangan) dengan menjunjung diatas
kepalanya, yang tidak pernah bias dilakukan oleh wanita jawa (Petrus
1905-1906:59;Surink 1933:195)
Perbedaan
dengan orang jawa dipertegas oleh model pakaian yang dikenakan orang Madura,
yang dianggap bahwa “pakaian harian pria maupun wanita Madura terlihat kumal
dan kotor.” Prianya tidak begitu peduli pada pakaian, sebab menurut pengamatan
van der linden (1931-1932:237) dalam berbusana mereka menggunakan “celana
tanggung berkaki lebar sejenis kemeja sekeliling bagian atas tubuhnya, selembar
sarung yang dikalungkan dileher, serta destar yang diikatkan sekenanya di
kepala.
Akan
tetapi orang Madura tidak hanya berbeda dari suku-suku bangsa tetangga dalam
penampilannya, pakaian, dan kebersihan. Tingkah laku dan sifatnya pun sangat
berlainan pula. Berulangkali mereka dilukiskan sebagai orang yang berwatak
kasar, tidak sopan, kurang ajar, ekstrover, blakblakan menyuarakan pendapatnya,
tidak tahu adat, dan tidak bersopan santun.
Segi
lain sifat orang Madura yang sering ditekankan adalah kecepatannya tersinggung
sering curiga, pemarah, berdarah panas, beringas, pendendam, suka berkelahi dan
kejam. Jika orang Madura dipermalukan, dihunusnya belati dan dengan segera
membalas dendam hinaan yang diterimanya, atau menunggu sampai kesempatan dating
untuk membalas dendam. Perkelahian, carok, dan pembunuhan merupakan suatu yang
biasa terjadi setiap hari kalu orang mau memercai stereotype ini. Orang menduga
bahwa ‘hutang nyawa dibayar nyawa’ diberlakukan secara luas (de java post 1911,9-22: 345) bahkan
hianaa kecil dijawab dengan pisau (wop 1866:284).
Untuk
menjaga kehormatan, semua dikorbankan, seperti diperlihatkan oleh pepatah
hMadura ‘etembang pote mata ango’an potea tolang’, atau
daripada hidup menanggung malu lebih baik mati berkalung tanah
(atmosoedirdjo,1952:12).
Disamping
sifat yang serba negative itu orang Madura juga diakui memiliki karakter
positif. Sebagai sifat-sifat positif pribadi orang Madura ditonjolkan
keberanian, kegagahan, kepetualangan, kelurusan, ketulusan, kesetiaan,
kerajinan, kehematan, keceriaan, kesungguhan, dan rasa humor. Akan tetapi
sifat-sifat itu selalu dibayang-bayangi oleh kejelekan. Lagipula sifat-sifat baik
ini hanya muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu, seperti bilamana
lingkungan berada dalam keadaan damai, teratur, ketat terpinpin, dan
berpanduan. Seseorang juga diminta untuk tidak terkelabuhi oleh sifat-sifat
positif tersebut : menghadapi orang Madura seseorang hendaklah selalu waspada.
Dibandingkan
dengan orang jawa yang dianggap bersifat “petani, bandefenter (1904:109)
mencirikan orang Madura sebagai nelayan / laut, karena ia lebih mempunya nyali,
dan lebih Banyak keinginan untuk berpetualang. Ia
juga lebih liar dan tidak sabar bila di bandingkan dengan kepasrahan untuk
berserah diri orang.
Petrus
(1906:59) mempertentangkan rasa keinginan orang Madura untuk bebas merdeka,
serta kebringasan dan kerja kerasnya, dengan sifat kesopanan, ketidak beranian
dan kepasifan orang jawa. Dalam de java
post (1911,9-22:345) orang Madura di katakana sebagai” orang dengan harga
diri” yang lebih suka jujur berterus terang, dan mereka sangat benci untuk
duduk-duduk membuamg waktu.
Disamping
rajin dan kuat, orang Madura juga di gambarkan selalu bersungguh-sungguh, hemat
serta irit, dah bahkan kikir (‘t H 1924:8). Menurut mitis (1903:334) sifat
hemat akan membuatnya mau berjalan kaki jauh sekali.akibat selalu menyisihkan
sebagian penghasilannya, orang Madura di jawa timur berhasil mendesak orang
jawa dari tanah tanah subur yang lebih baik (vandelder 1899:577).
Sifat
pelurusan hati dan kesetiaan orang Madura sangatlah terkenal. Orang umumnya
berpandangan bahwa jika di tegaskan tempat mereka berada, terus pegang dan hormati
kenyataan itu, serta perlakuan mereka secara adil, orang Madura tidaklah
merupakan orang yang sulit. Orang Madura terkenal sebagai orang yang dapat di
pegang perkataan dan umumnya teguh memegng janjinya (surink 1933:195).
Orang
Madura diketahui suka memperlihatkan kesenangannya yang terkadang hampir
seperti keceriaan anak-anak kecil. Mereka dikatakan selalu berbahagia dan
senang tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak menyukai pamir kemegahan,
berlebihan, dan memiliki rasa humor yang tinggi “di Madura pernyataan lucu yang
di lontarkan pada tempatnya dengan mudah akan segera mengurangi ketegangan yang
berpotensi menimbulkanperkelahian,” kata seorang pejabat sipil belanda (B. 1928
: 106).
Dulu
sering dikatakan bahwa “penghuni bagian barat pulau kecanduan alcohol” (van
Gennep 1895:270; Surink 1933:196) karena mereka suka minum tuak, sehingga
perhelatan disana seringkali berakhir dengan keributan. Oleh karena itu pernah
diberlakukan ketentuan bahwa pesta keramaian disana hanya diizinkan dilakukan
dibawah pengawasan polisi.
Tidak
ada pakar-pakar masyarakat Madura itu mengatakan sesuatu yang bersifat positif
tentang bahasa, kesusastraan dan kesenian Madura. Fsser (1894:34) mengisahkan
suatu versi lelucon kuno yang menceritakan bahwa orang Madura ketiduran ketika
Allah membagi-bagikan bahasa untuk bangsa-bangsa di muka bumi. Akibatnya bahasa
mereka hanyalah merupakan pencampur adukan bahasa-bahasa orang sekitarnya
seperti bahasa melayu, jawa kawi, jawa, sunda dan bali.
Hampir
selalu yang negative saja yang diperkatakan orang. Mulai dari makanan (pemakan
jagung), pedagang (Cuma seorang penjaja), kebangsawanan (terorientasi dan
menirujawa), jalan-jalan (tidak aman), selat yang memisahkannya dari jawa
(dipenuhi bajak laut dan penyelundup), sampai ke kehidupan moralnya (anehnya
hampir tidak ada pelacuran).
Mencolok
juga untuk dicatat bahwa segi positif sifat orang Madura (tali kekeluargaan
yang erat, moralitas yang tinggi) sering dilihat sebagai konsekwensi
sifat-sifat negatifnya.
Oleh
karena itu kelangkaan perselingkuhan atau perzinahan bila dibandingkan dengan
di jawa, dianggap sebagai akibat adanya ancaman pembalasan dendam yang kejam.
Dengan kata lain, sifat positif telah diturunkan dari yang negatif, alih-alih
sebaliknya. Tidak pernah dipertimbangkan keterlibatan beberapa factor atau
kesaling terkaitan keseluruhan kemungkinan lain secara lebih kompleks.
Seperti
disinggung diatas, stereotype orang Madura yang terdenganr di Indonesia
tidaklah berbeda banyak dengan yang diperkatakan orang dizaman penjajahan,
sekalipun pandangan dan nadanya yang keras, memojokkan, dan terkadang penuh
purbasangka rasial sudah menghilang. Terutama dalam berita dan cerita tentang
carok yang semakin diperbesar, orang Madura masih tetap digambarkan sebagai
seorang macho, keras kepala, petarung
bersenjata tajam, pendendam, pendeknya orang sangat berbahaya. Beberapa tahun
yang lalu dilakukan pelarangan terhadap pemutaran film Indonesia tentang carok
karena dikhawatirkan akan dianggap menghina orang Madura sehingga bias
menimbulkan kerusuhan.
Analisis Stereotipe Orang Madura
Dalam Babad Tanah Jawi Buku III
By: Muhammad Zuhdi
Madura, pulau di sebelah timur laut
Pulau Jawa adalah pulau yang gersang dan tandus. Curah hujan sangat rendah.
Mayoritas tanahnya berkapur dan tidak sedikit yang mengandung cadas. Pada musim
kemarau, matahari seolah tak berjarak dengan kepala. Mata pencaharian utamanya
nelayan dan tani. Tapi dewasa ini, karena kondisi alam yang sudah tidak
menjanjikan dan ditambah dengan tuntutan hidup yang semakin meningkat, sebagian
orang madura bermigrasi secara massif khususnya ke Pulau Jawa karena secara
geografis paling berdekatan dengan Pulau Madura yang hanya dipisahkan oleh
selat sepanjang 2.5 KM.
Orang Madura sejatinya tersebar
bukan saja hampir di seluruh Nusantara, tapi bahkan juga hampir di seluruh
dunia. Tidak sedikit kisah atau cerita tentang orang Madura perantauan baik
yang berskala nasional maupun internasional. Karena penyebaran yang hampir
menyeluruh khususnya di Nusantara maka tidaklah sulit untuk mendapatkan kesan
tentang orang Madura dari orang non Madura di manapun dan kapanpun. Akan tetapi
sayangnya kesan yang dapat ditangkap tentang orang Madura selama ini cenderung
negatif khususnya karena faktor stereotipe.
Stereotipe secara sederhana dapat
dikatakan sebagai pencitraan atau pelabelan secara diskriminatif dengan hanya
menampilkan salah satu sisi atau sebagian kecil saja dari kebiasaan sebagian
entitas dan kemudian digeneralisasikan secara membabi-buta terhadap keseluruhan
entitas tersebut. Misalnya saja dalam kasus stereotipe orang Madura yang selama
ini terkesan selalu diidentikkan dengan kekasaran dan kekerasan. Bahwa sebagian
orang Madura kasar dan keras adalah sebuah fakta sosiologis yang memang sulit
untuk dipungkiri. Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah benar bahwa semua
orang Madura itu keras dan kasar? Tidak adakah orang Madura yang lembut dan
halus? Sekali lagi fakta sosiologislah yang berbicara bahwa ternyata tidak
sedikit orang Madura yang berperangai halus dan berpembawaan lembut.
Namun sayangnya fakta sosiologis
yang terakhir ini terabaikan karena mungkin efek yang ditimbulkan oleh fakta
sosiologis yang pertama jauh lebih besar sehingga mengakibatkan generalisasi
yang tidak pada tempatnya. Definisi kekerasan dan kekasaran pun tidak tunggal.
Banyak orang Madura yang keras dan kasar hanya dari sisi lahirnya saja. Artinya
sebenarnya sisi batinnya baik. Hanya saja faktor geografislah yang membuat
perangai dan pembawaannya terkesan kasar dan keras. Tapi ada juga yang memang
lahir batin keras dan kasar. Tapi sekali lagi yang seperti ini tidak semuanya
atau bahkan mungkin juga tidak banyak.
Stereotipelah yang membuat
seolah-olah setiap orang madura itu keras dan kasar. Ada juga yang kemudian
lebih merupakan korban dari penyikapan yang salah terhadap stereotipe tersebut.
Misalnya ada orang Madura yang sebenarnya lemah dan lembut. Tapi setelah ia
bersinggungan dengan stereotipe orang Madura yang keras dan kasar, orang
tersebut bukannya melawan tapi malah merubah dirinya dan berusaha semaksimal
mungkin untuk menjadi seperti yang distereotipekan.
Stereotipe tentang orang Madura
tidak hanya dapat dijumpai dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dalam karya
sastra pun stereotipe tersebut dapat menjelmakan dirinya. Salah satu karya
sastra yang mengandung stereotipe orang Madura adalah Babad Tanah Jawi karya R.
Ng. Yasadipura yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit
Amanah Lontar khususnya buku III yang akan menjadi sumber data dalam analisis
ini.
Stereotipe yang muncul dalam buku
tersebut lebih berkaitan dengan keberanian orang Madura saat menghadapi musuh
dalam peperangan. Namun sayangnya keberanian tersebut kemudian ternoda oleh
sikap brandal dan urakan pasca peperangan sebagaimana digambarkan dalam buku
itu. Misalnya seperti yang terdapat pada halaman 53 alinea kedua yang
berbunyi:“… Orang Madura yang banyak jumlahnya menjarah di mana-mana. Yang
lelaki di bunuh, perempuannya dibawa. Negeri-negeri yang dilalui orang Madura
takluk dan barang-barangnya dijarah. Orang Juwana pun mengungsi semua.”
Kesan serupa dapat juga dilihat pada
halaman 57 alinea pertama yang berbunyi:
“… Orang-orang kecil sangat takut kepada orang Sampang. Dandangwacana sampai di
Kajoran, sikapnya sangat sombong. Negeri Pajang yang takluk diinjak-injak.
Orang di dalam kota sangat takut dijarah orang Sampang …”
Dari kedua sampel di atas jelas
dapat ditangkap pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa orang Madura suka
membunuh, menjarah, dan menyiksa orang-orang yang sudah tidak berdaya.
Penggambaran orang Madura seperti ini sebenarnya bukan hanya sekedar stereotipe
tapi sudah sampai pada tingkatan stereotipe ekstrim yang bahkan tidak memberi
peluang sekecil apapun bagi sebagian orang Madura lainnya untuk meluruskan
fakta yang sebenarnya bahwa orang Madura bukan hanya para perusuh itu.
Sedangkan yang terkait dengan
keberanian orang Madura seperti yang ada pada halaman 35 alinea kedua yang
berisi ucapan raden Trunajaya kepada utusan yang berbunyi:
“… Laporkan kepada Eyang bahwa saya tidak bermaksud melarang orang Madura
menghadap ke Mataram. Ini semua karena gilanya orang Sampang yang tidak mau
diperintah. Jika ada perintah agar mengerahkan orang Madura menyerbu ke Demung
saya persilahkan. Jangankan siang, malam hari pun saya persilahkan …”
Dari sampel tersebut terkesan
seolah-olah orang Madura tiada duanya dalam hal keberaniannya dan kesiapannya
dalam menghadapi pertempuran. Di samping itu juga dapat ditangkap kesan
seolah-olah orang Madura itu hobinya bertarung dan bertarung di mana saja dan
kapan saja.
Penggambaran orang Madura dalam Buku
itu mirip sekali dengan personifikasi Darsam dalam Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer. Secara tragis Pram bahkan mendeskripsikan Darsam yang kebetulan
juga berasal dari Sampang sebagai orang yang tidak dapat menyelesaikan
persoalan selain dengan jalan kekerasan yang disimbolkan dengan parang yang
selalu dibawa ke manapun ia pergi.
CITRA MASYARAKAT MADURA MASA KINI
Dr. A. Latief Wiyata menyatakan bahwa
budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang
positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku
negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang
Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan
mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.
Nilai-nilai sosial sebuah budaya, menurut
Latif Wiyata bersifat lokal dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan
karakteristik masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan ini, seharusnya Budaya
Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban
dan sederetan watak positip lainnya. Akan tetapi keluhuran nilai budaya
tersebut pada sebagian Orang Madura tidak mengejawantah karena muncul
sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba
sangar, mudah menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan
tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Giring, 2004). Akibatnya,
timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.
Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki
gambaran yang kelam tentang Orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas
ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka
dihantui citra
Orang Madura yang serba tidak bersahabat.
Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semuanya berubah
180 derajat pandangannya tentang Orang Madura. Mereka dengan penuh ketulusan
mengatakan bahwa Orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima
tamu.
Citra negatif ini pula yang kemudian
melahirkan sikap pada sebagian Orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa
malu menunjukkan diri sebagai Orang Madura, karena Madura identik dengan
keterbelakangan atau kekasaran.
Kenyataan ini tampaknya memang sulit
dielakkan karena dua faktor yaitu geografis dan politis. Pertama, secara
geografis pulau Madura sebagai tempat orang Madura mengalami proses sosialisasi
sejak awal lingkaran kehidupannya, letaknya sangat dekat dan berhadapan
langsung dengan Pulau Jawa-tempat orang Jawa mengalami proses yang sama. Setiap
bentuk interaksi sosial orang Madura dengan orang luar mau tidak mau
pertama-tama akan terjalin dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa.
Oleh karena dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan
kebudayaan Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant
culture) maka dalam ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan kebudayaan
Madura menjadi tersubordinasi sekaligus termarginalkan.
Kedua, fakta sejarah telah menunjukkan
bahwa posisi Madura secara politik hampir tidak pernah lepas dari kekuasaan
(kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta ini kian mempertegas posisi subordinasi dan
marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya, mudah dipahami
apabila setiap kali orang Madura akan mengekspresikan dan mengimplementasikan
nilai-nilai budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka akan selalu
cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.
A.
PEMBAHASAN
Orang Madura mempunyai sifat dinamis, agresif, dan
terkadang terlihat tidak sopan. Karena perilakunya sering dianggap tidak
terduga dan tak terkendalikan, orang luar condong merasa was-was bila
berhadapan dengan orang Madura.(Fox 1997:224/1996:292)
Prof. Dr. Kuntowijoyo (1980/2002) menyimpulkan bahwa
ekologi tegalan Madura merupakan factor penting dalam membentuk masyarakat
Madura. Dominasi tegalan telah ikut menentukan pola permukiman penduduk dalam
satuan taneyan lanjhang dan kampong mejhi yang pada gilirannya
mengakibatkan pada terjadinya ikatan kekeluargaan yang kuat. Kenyataan ini
menyebabkan hubungan sosial orang Madura sangat berpusat pada individu dengan
keluarga inti sebagai satuan dasar solidaritas. Kelangkaan ekologi oleh dominan
tegalan menyebabkan lingkungan tidak mampu mendukung satuan keluarga yang lebih
besar lagi. Kenyataan ini telah ikut menentukan pola kehidupan sosial orang
Madura untuk menciptakan individu yang percaya pada dirinya dibandingkan dengan
individu yang bersifat komunal dan kooperatif (Kuntowijoyo, 1980/2002:577)
Ketiadaan surplus ekonomi oleh pengaruh ekologi tegalan yang miskin
telah mengurangi kejahatan yang terorganisasi secara komunal seperti perampokan
besar-besaran. Oleh karana itu,
kekerasan carok yang menjadi cirri orang Madura umumnya sangat bersifat
individual (kuntowidjoyo,1980/2002:577) menilai bahwa orang Madura miskin dalam
kegiatan usaha untuk mencerahkan kehidupan masyarakat seperti penciptaan seni
sastra dan bentuk-bentuk simbolisasi kesenian lainnya
Sebagian besar orang Madura tidak tamat sekolah atau
bahkan tidak pernah sekolah. Mereka merupakan pekerja keras yang ulet tidak
pernah putus asa sehingga pantang menyerah, penuh percaya diri, memiliki jiwa
kewirausahaan. Mereka bertabiat keras, berani dan gigih ddalam perjuangan
hidupnya, rajin menabung yang umumnya digunakan naik haji. Kendati bersifat
baik karena hemat dan suka menabung, orang Madura mempunyai tabiat cepat curiga
pendendam dengan rasa kesukuan dan solidaritas kelompok yang kuat(Sudagung,
1984/2001:139), disertai budaya carok untuk menyelesaikan masalah diantara
sesama madura.
Sudagung(1984/2001:131) ,menyimpulkan bahwa temuan
lapangan tentang sifat-sifat orang Madura yang tersaksikan merupakan pembawaan
dan perilaku mereka yang asli dan alami semua terjelma oleh terpaan lingkungan
fisik alam sekitar yang gersang dan tandus, lingkungan biologi yang tidak
mencukupi serta lingkungan sosial yang penuh dengan persaingan terhadap
pesintasannya.
Sifat etnosentrisme orang Madura memang merangsang
hasrat untuk saling membantu dalam bekerja secara keras yang didukung oleh
pembawaannya yang unik dan tahan banting. Sayang sifat ini condong untuk
membuat mereka kurang memperhatikan kepentingan kelompok masyarakat lain dan
juga kurang toleran terhadap suku bangsa lain. Karena pembawaan yang
temperamental, mereka gambang tersinggung, sehingga begitu melihat ada gerakan
yang dirasakan bakal merugikan diri dan kelompoknya, mereka langsung bereaksi
dan mencoba menandingi. Keberhasilan mereka secara sosial ekonomi mengakibatkan
meningkatnya kecemburuan sosial yang semakin membesarkan ketegangan di
masyarakat majemuk. Hal yang kecil dapat menjadi besar. Pada kelompok yang
berwatak keras dan berpendidikan rendah solidaritas gampang sekali muncul
sehingga di ajak dan di hasut sedikit saja mereka akan ikut tampa berpikir
panjang.
Jordaan (1985) menemukan bahwa manusia Madura
merupakan orang yang sulit penuh percaya diri dan angkuh. Mereka suka
memamerkan kekayaan sehingga barangnya yang paling mahal terpajang secara
mencolok(jordaan, 1986:23). Sifat ini ada hubungannya dengan kesadaran akan
posisinya dalam pelapisan sosial di lingkungannya, system pengelompokan yang
didasarkan pada kesejahteraan, kekerabatan, macam pekerjaan, aliran agama dan
lain-lain.
Orang Madura memiliki etos kerja yang mirip dengan
orang China yaitu rajin, ulet, jujur, setia dan terandalkan. Namun orang China
kurang senang pada kecepatan orang Madura yang cepat naik darah karena ini
bertentangan dengan ajaran kong hu cu yang menganjurkan pengikutnya untuk
bersifat mengalah. Mereka juga menyayangkan sikap orang Madura yang kasar dan
kurang ajar. Oetomo, 1991 menyimpulkan bahwa secara menyeluruh orang China
menghargai hubungan baiknya dengan orang Madura, karena mereka saling
membutuhkan dalam kegiatan ekonomi yang tidak saing menyaingi tetapi malah
diwarnai oleh sikap dan perilaku oleh kedua belah pihak yang sama-sama
rasional, pragmatic dan fungsional.
Irawan & Kasiyun (1993:7,108) menyimpulkan bahwa
sikap yang diidealkan orang Madura dalam hidup bernegara dan bermasyarakat
adalah cinta tanah air yang besar dan setia pada pimpinan. Sebaliknya, seorang
harus rela berkorban demi kepentingan rakyat, adil, tidak boleh
sewenang-wenang, dan tepat janji. Orang Madura yang sifat pemberani dan
menjunjung harga diri sehingga memilih lebih baik mati berkalang tanah daripada
hidup mengandung malu, harus bekerja keras demi tercapainya kesejahteraan dan
kebahagiaan. Mereka besikap pantang menyerah dan tidak mau berputus asa
sehingga semua harus dihadapi secara jantan dan jujur agar dapat hidup tenang
dalam kesederhanaan dengan berendah hati dan saling tolong-menolong.
Dikemukakan oleh Dr Laurence Husson (1995) bahwa
kehematcermatan orang Madura yang suka bekerja keras memang terbukti dapat
meningkatkan kesejahteraan kehidupan mereka. Citra sifat kaku dan kasar orang
Madura yang merantau ke Jawa Timur dikaitkan dengan rendahnya pendidikan
orang-orang yang umumnya berasal dari daerah pedesaan pedalaman. Citra
kekerasan itu semakin diperkuat karena orang Madura yang tidak berpendidikan
cukup tadi memiliki sifat berani berbicara lantang secara terbuka. Mereka
mempunyai kesetiaan kepada system dan pranata serta atasan yang mengayominya,
dengan ketekunan dan etos kerja tinggi yang tidak takut melakukan pekerjaan apa
saja asal halal. Menurutnya pepatah Madura kar-ngakar
cople’ (mengais lalu mencocok), atau ajam
mon ngakana ghi’ ngakar kaada’ (ayam kalau mau makan mengais dulu-“ibarat
ayam tiada mengais tiada makan”) secara tepat menyiratkan kenyataan tersebut.
ditemukan bahwa kesungguhan kerja, ketegasan bertindak, keteguhan sikap, dan
keberanian menghadapi ketidakpastian lingkungan untuk menghadapi tantangan
kesintasan hidupnya telah memotifasi mereka untuk merantau. Pembelaan terhadap
kehormatan dan harkat dirinya yang tinggi terutan bila terjadi gangguan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan istri, keluarga, tanah, ternak, dan air
memang menyebabkan mereka sering terkesan beringas. Disimpulkan bahwa penyebab
utama adalah terlembagakannya budaya carok di kalangan orang Madura untuk
menyelesaikannya.
Kebiasaan transmigrasi mendapat hambatan-hambatan
alam dan lingkungan yang kurang bersahabat sehingga menyebabkan manusia Madura
mampu menghadapi tantangan kehidupan keras dengan keoptimalan yang tinggi.
Bekerja keras dengan tidak pernah mengenal lelah serta tidak menghiraukan
waktu, merupakan pola hidup mereka untuk meraih peluang pemaksimuman nilai
kegunaan barang dan jasa langka yang bisa disediakan. Rendahnya pendidikan
telah mengharuskan mereka memasuki lapangan kerja dalam sector informal yang
tidak memerlukan keterampilan tinggi seperti buruh tani , pedagang ecera, dan
sebagai pekerja kasar di bbidang jasa.
Menabung memang merupakan kebiasaan orang Madura,
tidak saja dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk perhiasan atau hewan
ternak. Tabungan ini tidak hanya dimaksudkan sebagai penyediaan paying sebelum
hujan, sebab juga dimaksudkan untuk bekal dalam menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Dorongan naik haji ini semakin kuat karena masyarakat Madura memang
meberikan penghargaan status sosial yang lebih tinggi pada warga yang
menunjukkan keberhasilan yang diberkahi tuhan tersebut.
Lembaga budaya Carok Madura sering menjurus pada
sikap kekerasan untuk menjunjung martabat dan harga diri. Factor budaya yang
membiasakan mereka bermain senjata tajam semakin meruncingkan permasalahan, dan
ini mendorong orang Madura menjadi kurang toleran terhadap kelompok atau etnis
lain di luarnya. Berbagai tindak kekerasan yang terjadi lalu menyebabkan timbulnya
anggapan bahwa orang Madura cepat tersinggung dan naik pitam, akibatnya
hubungan antara orang Madura dengan etnis lain cenderung diwarnai saling
prasangka.
Citra kerapan sapi khas yang digemari mereka memang
membersitkan kesan pekerja ulet Madura yang hidup dalam suasana
kehematcermatan.
Dalam kaitan dengan kerapan sapi, sifat ini telah
menimbulkan kefanatikan luar biasa dalam memelihara ternaknya. Sapi kerapan
diperlakukan selayaknya ningrat bangsawan sehingga melahirkan ungkapan yang
menyatakan bahwa peternak Madura lebih sayang pada sapi dibanding dengan
istrinya. Akibatnya sapi-sapi pilihan itu disanjung, dicintai, dan dimanja,
serta diberi santapan istimewa yang tidak mungkin akan disuguhkan pada sanak
keluarganya sendiri.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari berbagai konflik yang dialami orang Madura dengan suku
bangsa lain, rata-rata permasalahan mereka sama dan diakhiri dengan jalan
kekerasan. Hal ini yang mengakibatkan semakin meluasnya citra orang Madura.
Adapun penyebab tindakan kekerasan orang Madura :
Kalau
ditelusuri secara praktis, berdasarkan hasil penelitian penulis selama berada
di pulau Madura, maka dapat disimpulkan beberapa penyebab terjadinya kekerasan
yang melibatkan orang Madura sendiri. Pertama, rasa kecemburuan sosial yang terlalu
berlebihan. Di kalangan masyarakat bawah, kecemburuan sosial memang menjadi
salah satu pemicu terjadinya tindakan kekerasan yang melibatkan banyak
kalangan.
Kecemburuan
yang terjadi di masyarakat bawah, pada dasarnya lebih banyak terjadi di
lingkungan keluarga. Karena lingkungan keluarga menjadi bahan perbincangan yang
kerap kali menimbulkan perselisihan dan percekcokan. Di lingkungan keluarga,
kita akan dihadapkan pada satu kehidupan yang serba dilematis. Hal ini memang
sering muncul dipermukaan, terutama permasalahan perselingkuhan, perebutan
harta warisan, pertengkaran antar saudara, pembunuhan antar keluarga sampai
pada persoalan kecil sekalipun. Permasalahan kecemburuan sosial tersebut, pada
akhirnya akan berimplikasi negatif terhadap masa depan generasi Madura sendiri.
Kedua,
rasa dendam antara kedua belah pihak yang sedang berkecamuk. Rasa dendam yang
berkecamuk ini, dapat berakibat fatal terhadap terjadinya pembunuhan massal
yang memang sering terjadi di Madura.
Ketiga,
rendahnya tingkat pendidikan orang Madura. Mayoritas tingkat pendidikan orang
Madura sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini, dibuktikan
dengan banyak anak muda Madura yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi. Orang tua mereka lebih suka anaknya bekerja untuk mencari
uang dari pada menyekolahkan anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan.
Kecendrungan orang tua tersebut, lebih banyak dilatarbelakangi oleh kondisi
ekonomi yang pas-pasan, perpecahan keluarga, rendahnya pendidikan orang tua dan
faktor-faktor lain yang menyebabkan anak mereka tidak melanjutkan
pendidikannya. Rendahnya tingkat pendidikan orang Madura tersebut, pada
gilirannya dapat berpengaruh pada mental dan masa depan mereka di masa
mendatang.
Keempat,
kurangnya pemahaman terhadap makna substansial ajaran agama. Secara faktual,
mayoritas orang Madura adalah beragama Islam. Namun, ke-islaman mereka perlu
diaktualisasikan dalam bentuk kehidupan nyata. Kebanyakan dari mereka hanya
sekedar melaksanakan kewajiban sebagai orang Islam, akan tetapi pemahaman dan
pelaksanaan yang terdapat dalam ajaran mereka tidak mampu dipraktekkan dengan
baik. Hal ini, menurut hemat penulis perlu diinterpretasi kembali agar mereka
semua sadar bahwa tindakan kekerasan bukan merupakan solusi terbaik dalam
memecahkan persoalan.
Karenanya,
pemahaman terhadap ajaran agama menjadi sangat penting untuk direvitalisasi.
Sebab hal ini, akan memotivasi timbulnya kesadaran untuk memperbaiki diri dari
tindakan yang semula merugikan orang lain ke arah tindakan yang dapat
bermanfaat dan bernilai bagi kehidupan orang banyak.
2. Saran
Menghadapi realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang
dapat dan harus dilakukan oleh orang Madura adalah segera melakukan
revitalisasi nilai-nilai budaya Madura. Untuk melakukan upaya ini tentu tidak
terlalu sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar budaya serta
orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap budaya Madura secara bersama-sama
dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun kembali secara
sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura yang tidak kalah adhi
luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab, tidak mustahil banyak
nilai-nilai budaya tersebut selama ini masih “terpendam” atau sangat mungkin
sudah mulai “terlupakan”.
Jika semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai
luhur budaya Madura akan tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi
setiap orang Madura dalam hal berpikir, bersikap, dan berperilaku. Lebih-lebih
ketika mereka harus membangun dan menjalin interaksi sosial dengan orang-orang
di luar kebudayaan Madura.
Dengan demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun
akan terhapus, sehingga masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi
termarginalkan. Bahkan, ke depan tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat
masyarakat dan kebudayaan Madura justru akan muncul sebagai salah satu
alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.
Menyikapi
persoalan demikian, tidak seharusnya kita berpangku tangan melihat kenyataan
yang sebenarnya. Yang perlu dilakukan saat ini adalah reaktualisasi untuk
mengembalikan kepercayaan orang-orang di luar Madura tentang kesan negatif
orang Madura. Pertama, melakukan intropeksi diri. Sikap ini, sejatinya harus
dikembalikan kepada diri kita sendiri. Karena sebagai orang Madura, kita belum
sepenuhnya sadar atas segala tindakan yang dilakukan. Seharusnya kita berkaca
diri, memperperbaiki diri dan berupaya untuk tidak melakukan lagi tindakan yang
bertentangan dengan prinsip kemanusian lebih-lebih agama.
Kedua,
meningkatkan kepercayaan diri kepada orang-orang di luar Madura. Upaya ini
sebenarnya merupakan tahapan penting yang perlu diaktualisasikan dalam rangka
membangun kembali citra positif orang Madura. Untuk mengimplementasikan upaya
ini, diperlukan konsistensi yang tinggi dalam mengupayakan sebuah pemahaman dan
pengertian yang mendalam kepada orang-orang di luar Madura.
Ketiga,
meningkatkan peran pendidikan secara penuh. Sampai saat ini, tingkat kemajuan
pendidikan orang Madura belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Problem
ini, lebih banyak diimplikasikan oleh kurangnya kesadaran masyarakat bahwa
peran dan posisi pendidikan dalam kehidupan begitu sangat dibutuhkan. Tingkat
kemajuan pendidikan pada gilirannya akan menjadi modal mendasar dalam membangun
peradaban bangsa ke arah kemajuan yang lebih menjanjikan.
Keempat,
meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupan. Tak dapat dipungkiri,
bahwa moral dalam sendi-sendi kehidupan menempati posisi yang sangat vital dan
strategis. Karena dari sekian banyaknya persoalan kehidupan tidak lepas dari
peran moral di dalamnya. Kita tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi
dalam hidup ini kalau kemudian moral dikesampingkan dan diabaikan oleh orang.
Tentu saja malapetaka akan menimpa kehidupan manusia secara keseluruhan. Karena
itu, moral menjadi sebuah tonggah kemajuan bangsa dan kebaikan bagi
masyarakatnya. Jika moral tidak menjadi landasan dalam kehidupan, maka kita
akan menunggu kehancuran kehidupan ini.
Strategi
ini, sebenarnya merupakan hipotesis awal dalam memberikan masukan dan tawaran
solutif terhadap persoalan yang terjadi. Setidaknya dengan upaya-upaya
tersebut, dapat menimalisir tindakan kekerasan yang melibatkan orang Madura.
Kembalinya
citra positif orang Madura, pada akhirnya akan memberikan secercah harapan bagi
perkembangan Madura di masa depan. Sehingga dambaan untuk membawa Madura ke
arah kemajuan dapat menjadi kenyataan. Begitu juga potensi yang ada di Madura,
yang perlu dikembangkan lebih lanjut, agar peningkatan sumber daya manusia yang
berkualitas benar-benar mampu memberikan nilai-nilai positif bagi orang-orang
Madura sendiri.
KARAKTERISTIK PEMIMPIN MADURA
a.
Kiyai
Seperti kita tahu, penduduk Madura
mayoritas memeluk Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai)
pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat. Bahkan, bagi
masyarakat Madura, kiai dipandang tidak hanya sebagai subyek yang mengajarkan
ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai kekuatan linuwih.
Itu sebabnya, ia juga berperan sebagai tabib, yang dimintai mantra atau jimat
dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu kanuragan.
Kiai
membangun relasi kuasa melalui proses kultural,
yaitu melakukan islamisasi. Beragam media kultural mereka ciptakan untuk
membangun kesadaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar, pondok
pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya kiai melakukan transfer
pengetahuan keagamaan, tetapi pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan
hegemoni dalam mengonstruk bangunan kognitif dan tindakan sosial masyarakat.
Peran kiai di Madura sebagai pemimpin
agama sangat dekat dengan hal-hal yang bersifat politik. Hal ini tidak dapat
dielakkan karena kiai memiliki massa yang besar dan dengan sangat mudah
menggerakkan massa (ummat) tersebut untuk kepentingan politik. Sementara
sebagian massa tersebut adalah santri atau keluarga santri, atau mereka yang
memiliki hubungan secara emosional keagamaan dengan kiai. Dari kekuatan
tersebut kiai memiliki peran yang kuat dan berbeda dibandingkan masyarakat pada
umumnya.
Ø Agama dan Politik:Kiai Sebagai Sentral
Pemimpin kegamaan di Madura terdiri dari tiga
kelompok, yaitu;santri, kyai dan haji. Murid yang menuntut ilmu disebut santri,
guru agama yang mengajari santri disebut kyai, dan mereka yang kembali dari
menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah disebut haji. Ketiga kelompok
tersebut berperan sebagai pemimpin keagamaan di Masjid, Musholla, acara ritual
keagamaan dan acara seremonial lain, dimana mereka berperan sebagai
pemimpinnya. Diantara ketiganya, kyai merupakan tokoh yang paling berpengaruh,
dan oleh Kuntowijoyo, kyai Madura disebut dengan elit desa. Pengetahuan yang
mendalam tentang Islam menjadikan mereka paling terdidik di desa. Beberapa kiai
selain tetap menyampaikan keahliannya soal-soal agama, juga dapat meramalkan
nasib, menyembuhkan orang sakit dan mengajar olah kanuragan. Kyai Madura dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis;guru ngaji, yang mengajarkan al-Qur’an, guru
ngaji kitab yang mengajarkan berbagai jenis ilmu agama, dan guru tarekat yang
disebut juga pemimpin tarekat.
Peranan kiai di Madura sangat penting, dan orientasi
masyarakat Madura adalah kiai, tidak pada kepemimpinan birokrasi. Pandangan ini
yang kemudian dimaknai “kegagalan” integrasi politik dan ekonomi Madura dalam
sistem nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh tipisnya pengaruh partai
pemerintah dalam beberapa kali Pemilu. Dalam penelitian Towen-Bouswsma (1988)
dan Joordan (1985) disimpulkan, bahwa terdapat indikasi yang sangat kuat adanya
“kegagalan” pemerintah dalam mengintegrasikan sistem politik dan ekonomi yang
bersifat nasional dalam kehidupan masyarakat Madura. Pandangan kedua peneliti
tersebut dibantah oleh Kuntowijoyo yang menyatakan, bahwa kuatnya pengaruh kiai
di tengah masyarakat Madura karena faktor ekologi dan sistem sosial. Ekologi
tegalan hingga sekarang masih dominan. Apa yang dikenal dengan “Revolusi Hijau”
dan “Revolusi Biru” di bidang pertanian tidak mampu merubah sistem sosial,
politik dan kultural Madura. Ekosistem tegal sudah menjadi satu dengan
masyarakat Madura, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya pada organisasi
sosial dan sistem simbol masyarakatnya.
Pola ekosistem tegalan di atas dimaksudkan untuk
menujukkan pola pemukiman dan sekaligus organisasi desa. Di Madura, sama halnya
di Jawa, pola pemukiman persawahan mengelompok pada satu induk (nuclear
village) dengan persawahan di sekitar desa. Akan tetapi, karena jumlah sawah
tidak teralu berarti, maka pola pemukiman semacam itu jarang terjadi.
Kebanyakan desa mempunyai pola desa tersebar (scattered village), dimana
perumahan penduduk terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk mempersatukan
desa-desa yang terpencar itu, perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu
membangunkan solidaritas . Di sinilah letak pentingnya agama dan kiai di
pedesaan Madura.
Karena desa tidak dipersatukan dalam suasana
ekonomi, maka sistem simbol menjadi lebih kuat. Demikian juga, karena
terpencar, perlu ada pengikat yang menjembatani pemecahan desa. Dalam hal ini
agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura. Pertama, agama
memberikan collective sentiment melalui upacara-upacara ibadah dan ritual serta
simbol yang satu. Misalnya, di Madura orang juga terpaksa membangun Masjid desa
untuk melaksanakan ibadah jum’at secara bersama, karena dalam ketentuan
syariat, tidaklah sah shalat jum’at yang tidak dihadiri 40 orang jamaah.
Keharusan agamalah yang menjadikan masyarakat Madura menjadi masyarakat dengan
membentuk organisasi sosial, yang didasarkan pada agama dan pada otoritas kiai.
Masyarakat sipil yang dibangun di atas masyarakat desa hanya menjadi organisasi
supradesa yang berada di permukaan, tetapi tidak mempunyai raison d’etre-nya
sendiri.
Sebagaimana masyarakat patrimonial yang memegang
teguh hierarki, posisi kiai sebagai pemimpim keagamaan dalam masyarakat Madura
menjadi sangat kuat. Kekuasaan sosial terpusat pada tokoh-tokoh yang secara
tradisional keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan
karena dipaksakan maupun keinginan para tokohnya. Dalam konteks inilah yang
awalnya peran kiai hanya menyempit dalam area keagamaan kemudian melebar ke
kawasan sosial dan bahkan politik.
Selain itu, pandangan hidup orang Madura antara lain
tercermin dalam ungkapan bhuppa’ bhabbu’ ghuru rato. Pandangan ini menyangkut
filosofi kepatuhan orang Madura pada bapak, ibu, guru dan raja (pemimpin
formal), yang mereka sebut sebagai figur-figur utama. Dalam kehidupan sosial
budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur
utama secara khirarkikal . Sebagai aturan normatif yang mengikat kepada semua
orang Madura, maka palanggaran atau paling tidak—melalaikan aturan itu—akan
mendapat sangsi sosial secara kultural.
Kepatuhan kepada guru merupakan aturan yang sangat
normatif yang menjadi dasar bagi setiap makhluk di dunia. Bagaimana dengan
kepatuhan kepada guru di Madura? Pada tataran ini Wiyata lebih menggaris bawahi
bahwa tidak semua masyarakat dapat mematuhi guru sekuat orang Madura. Bagi
orang Madura, guru (kiai) merupaka jaminan masalah moralitas dan
masalah-masalah ukhrawi, maka kepatuhan orang Madura kepada guru didasarkan
pada alasan tersebut. Sementara rato dalam sejarah Madura banyak dipegang oleh
para kiai. Dari sinilah filosofi tersebut sangat kuat dan menjadi penanda
identitas kultural orang Madura. Dari sini dapat dilihat bahwa ketaatan orang
Madura pada kiai karena memang filosofi hidup mereka yang sangat kuat terbentuk
sejak dini.
b.
Blater
Adapun struktur ekologis wilayahnya yang
tandus dan tidak produktif telah menyebabkan masyarakatnya mengalami kemiskinan
sosial-ekonomi. Di samping memang adanya pengalaman masyarakat Madura di masa
kapitalisme kolonial yang mengalami proses eksploitasi dan dehumanisasi. Kenyataan
ini melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat. Di sinilah blater
muncul. Dalam konsepsi masyarakat Madura, blater adalah orang yang memiliki
kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis yang (biasanya) mereka digunakan
dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura sendiri, ada dua pandangan
mengenai sosok blater ini. Ada blater yang memberikan perlindungan keselamatan
secara fisik kepada masyarakat, berperilaku sopan dan tidak sombong. Namun, ada
juga blater yang disebut "bajingan" karena tidak menjalankan peran
sosial yang baik di masyarakat.
Mereka ditakuti masyarakat karena
keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok
blater cenderung bersifat simbiosis, saling membutuhkan, walaupun fungsi dan
peranan sosial mereka antagonistic. Tidak sedikit, seorang kiai atau haji
memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai
blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah menyandang symbol-simbol
keagamaan Islam tersebut.
Kaum blater masih dominan di posisi
sebagai elite pedesaan, belum merangkak secara cepat layaknya kiai yang begitu
eksis dan tampil dominan sebagai elite perkotaan. Blater sebagai orang kuat di
desa masih tampil cukup dominan. Di pedesaan, komunitas blater masih memainkan
peran sebagai broker keamanan dalam interaksi ekonomi dan sosial politik.
Selain itu, tak sedikit yang bermain di dua kaki, selain sebagai broker
keamanan juga sebagai tokoh formal, yakni menjadi state apparatus dengan cara
menjadi klebun (kepala desa). Di banyak tempat di pedesaan Madura, tak sedikit
klebun desa berasal dari komunitas blater atau dipegaruhi oleh politik
perblateran.
Berbeda dengan kiai, dalam membangun
kekuatan sosial, blater melakukannya
melalui praktik-praktik kriminal, seperti carok, sabung ayam, dan modus
pencurian dan perampokan. Blater yang sudah kembali hidup normal dalam
masyarakat biasanya menjadi penengah dan mediator yang baik dalam menyelesaikan
konflik antaranggota masyarakat. Itu sebabnya, ideologi sosial yang mereka
bangun adalah membantu masyarakat. Dua kekuatan ini, dalam konteks pembentukan
karakter masyarakat Madura, perannya sangat terasa. Tradisi blater, misalnya,
telah membentuk karakter masyarakat Madura yang keras dalam membela harga diri.
c.
Perempuan atau Wanita
Madura
Catatan VOC Daghregister tanggal 15
September 1624 "Orang Madura nyatanya bukan hanya laki-laki yang ikut
berperang, akan tetapi perempuan pun ikut berperang dan peperangan tersebut tidak
kalah dari laki-laki. Apabila ada laiki-laki yang luka dibagian punggungnya,
maka oleh tentara wanita dibunuh sekalian, sebab dibagian punggung tersebut
menunjukkan laki-laki tersebut melarikan diri dari peperangan yang kemudian
dikejar oleh musuh sampai berhasil dilukai. Akan tetapi lukanya dibagian depan,
maka oleh para wanita madura segera di obati, karena luka yang demikian
menunjukkan bahwa luka yang diakibatkan dari pertempuran yang berhadap-hadapan.
"
Dari penggalan-penggalan kalimat
tersebut, memberikan gambaran bagaimana wanita Madura sangat berperan dalam
membantu keberhasilan perjuangan kaum laki-laki. Disamping itu, para wanita
Madura berperan besar dalam membangun karakter kaum laki-laki Madura sebagai
pejuang yang tangguh, pantang menyerah dan berjiwa kesatria dalam membela
kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Nilai-nilai inilah yang senantiasa
diturunkan dari generasi ke generasi dan karakter tersebut tetap berlanjut dan
menjadi bagian integral dalam prinsip-prinsip hidup masyarakat Madura hingga
saat ini.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu
garis tegas bahwa peran wanita Madura memiliki peran setara dengan kaum
lelakinya, baik dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam peperangan sekalipun.
Bahkan dalam konteks-konteks tertentu peran wanita Madura terlihat sangat keras
dan sangat menentukan keberhasilan kaum laki-laki, tanpa mengesampingkan posisi
laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung kehormatan wanita.
d.
Pergeseran Nilai
Pemimpin Madura
Selain kiai masih memainkan peran sesuai
dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai “gugatan” umatnya.
Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada pergeseran
pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam ranah
politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah,
seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative
masyarakat atau umatnya. Tidak ada larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki
usaha ekonomi.yang penting,dalam hal ini adalah kiai itu tidak terlibat
langsung dalam kegiatan usaha ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga
banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai itu bertani.Tetapi,proses penanaman
dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh santri-santrinya atau
diperkerjakan/dipercayakan kepada orang lain.santri-santri tersebut tidak
dibayar karena yakin para santri akan memperoleh barokah kiai.
Jadi, kyai
tidak menanggani kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kyai sendiri yang terjun berdagang atau
bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya, jika
urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang lain,
walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap martabat
kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima seorang kiai
yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya petani atau
pedagang yang sesungguhnya.